Minggu, 29 Januari 2012

MELAFAZHKAN NIAT dalam Wudhu dan Shalat


Melafazhkan niat artinya mengucapkan niat shalat sebelum takbir, yaitu seperti :
نَوَيْتُ أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ ....
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada pihak yang membolehkannya bahkan menganggapnya “sunnat”, sementara ada pihak yang membid’ahkannya. Inilah alasan mereka :

Alasan Orang Yang Berpendapat Sunnatnya Talafuzh

Pertama :
اَلنِّيَّةُ : قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَالتَلَفُّظُ بِهَا سُنَّةٌ, لِيُعَاوِنَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.
Niat itu adalah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai dengan melakukannya dan tempat niat itu di dalam hati, sedang mengucapkannya adalah sunnat, agar lisan membantu hati. (Safinatu al-Najaa, hal 19)
Penjelasan :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada setiap niatnya dan sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung apa yang diniatkan. Dan barangsiapa yang hijrahnya dalam rangka memporoleh dunia maka ia akan mendapatkan dunia atau hijrah karena seorang wanita yang akan ia nikahi maka hijrahnya kepada sesuatu yang ia niatkan dalam hijrahnya.” (H.R al-Bukhari)
Mari kita lihat Asbubul Wurud (latar belakang Rasulullah mengeluarkan sabdanya) dalam Fathul Bari juz 1 hal 10

ورواه الطبراني من طريق أخرى عن الأعمش بلفظ كَانَ فِيْنَا رَجُلٌ خَطَبَ اِمْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ فَأَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَهُ حَتَّى يُهَاجِرَ فَهَاجَرَ فَتَزَوَّجَهَا فَكَنَا نَسَمِّيْهِ مُهَاجِرَ أُمُّ قَيْسٍ, وهذا إسناد صحيح على شرط الشيخين
Di kalangan kami ada seorang laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan yang dipanggil Ummu Qais. Ummu Qais menolak untuk dinikahi kecuali sang pelamar ikut berhijrah. Kemudian lelaki itu pun ikut hijrah lalu menikahi Ummu Qais, maka laki-laki itu kami namakan orang yang berhijrah karena Ummu Qais.

كُلُّ فِعْلٍ تَوَفَّرَ سَبَبَهُ عَلَى عَهْدِ النبي - صلى الله عليه وسلم - وَلَمْ يَفْعَلْهُ فَالْمَشْرُوْعُ تَرْكُهُ
Setiap pekerjaan memenuhi persyaratan motifnya atas sisi Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam dan beliau tidak mengerjakannya maka yang masyru (disyari’atkan) adalah meninggalkannya.

س : إذا تَلَفَّظْتُ في دَاخَلِ الْمَسْجِدِ وَقُلْتُ : اَللَّهُمَّ إِنِّي نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِصَلَاةِ الْعَصْرِ مِثْلًا ، أَوْ نَوَيْتُ الصَّلاةَ بِهَذِهِ الطَّرِيْقَةِ هَلْ هَذَا يُعْتَبَرُ بِدْعَةٌ؟
Syaikh bin Baz ditanya, jika aku mengucapkan niat ketika akan memasuki masjid, ya Allah aku sengaja melakukan wudhu untuk melaksanakan shalat asar misalnya, atau aku sengaja melakukan shalat dengan melewati jalan ini, apakah itu termasuk dalam kategori bid'ah?.

ج : لَيْسَ التَّلَفُّظ بِالنِّيَّةِ لَا فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي الْوُضُوْءِ بِمَشْرُوْعٍ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ مَحَلُّهَا القَلْبَ ، فيأتي الْمَرْءُ إِلَى الصَّلاةِ بِنِيَّةِ الصَّلاةِ وَيَكْفِي
Syaikh bin Baz menjawab, “Tidak ada mengucapkan niat, tidak pada shalat maupun pada berwudhu yang disyari’atkan, karena niat itu adalah pekerjaan hati, tidaklah datangnya seseorang ke masjid kecuali dengan niat shalat dan itu sudah mencukupi.”

الفواكه الدواني على رسالة ابن أبي زيد القيرواني - (ج 2 / ص 94(
نَوَيْت الْوُضُوءَ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ صَحَّ ، وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ فَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا بَلْ الْأَفْضَلُ تَرْكُ التَّلَفُّظِ
Niat berwudhu yang Allah perintahkan dengannya itu benar, dan tempat niat itu di hati, maka tidak disyaratkan melafazhkannya bahkan yang lebih baik meninggalkan melafazhkannya.

قال رسول الله صلعم : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ. قال ابن القيم : اَلْبَاءُ هُنَا لِلسَّبَبِيَّةِ, وَلِذَا قَالَ فِى تَعْرِيْفِ النِّيَةِ : اَلنِّيَّةُ هِيَ الْإِرَادَةُ الْمُتَوَجِّهَةُ نَحْوَ الْفِعْلِ لِإبْتِغَاءِ رِضَاءِ اللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ, وَهَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ.
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”  Menurut Ibnul Qayyim, “BA” di sini menunjukkan Sababiyah, karenanya beliau mendefinisikan niat itu sebagai berikut : Niat adalah kehendak atau tujuan yang diarahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan mengharap keridhaan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, dan ini sama dengan ikhlas.
Maksudnya :
Menurut Ibnul Qayyim : lafazh “BA” dalam Bi al-Niyat, maksudnya Li al-Sababiyah (menunjukan sebab). Jadi pengertian : Innamaa al-a’malu bi al-niyaati, adalah sesungguhnya nilai amal itu disebabkan atau tergantung niatnya, dan bukan setiap amal itu harus disertai niat di waktu mengamalkannya, yakni pengertian “BA” dalam hadits di atas bukan Li al-Mushahabab (menyertai).

Hadits ini muncul karena suatu sebab, yaitu adanya seorang laki-laki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah, karena itu dia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Apakah laki-laki itu mengucapkan dengan lisannya, seperti “Saya niatkan hijrah ini untuk mengawini Ummu Qais?”, tentu tidak, karena dengan dia niat dalam hatinya berhijrah untuk Ummu Qais pun itu sudah disebut niat, dan tidak disebutkan kalau laki-laki itu melafazhkannya dengan lisan.
Untuk lebih jelasnya lihat syarah hadits “Innamaa al-A’amaalu bi al-Niyaati” pada Kitab Fathul Bari.

Kedua :
وَسُنَّ نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ اْلقَلْبَ.
Dan disunatkan mengucapkan niat sebelum takbir supaya lisan membantu hati. (I’aanatu al-Thaalibin I : 130)
وقد قال الله تعالى : ... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ...
Allah Ta'ala berfirman : “.... dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa ...” (Q.S al-Maidah : 2)
Keterangan :
Ayat tersebut memerintahkan untuk tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, sedang Talaffuzh bi al-Niyat adalah usaha lisan membantu hati dalam mengucapkan niat shalat, ini berarti Talaffuzh bi al-Niyat itu termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.Penjelasan :
إِذَا كَانَ اللِّسَانُ هُوً الَّذِى يُسَاعِدُ الْقَلْبَ فَمَا الَّذِى يُسَاعِدُ اللِّسَانَ؟ وَالْحَقُّ أَنَّ الْقَلْبَ هُوَ الَّذِى يُسَاعِدُ اللِّسَانَ. لِقَوْلِ النَّبِيِّ : أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُهَا, أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.
Jika lisan membantu hati, maka apa yang membantu lisan?, yang benar adalah hati yang membantu/menggerakkan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad itu terdapat Mudhghah yang apabila mudhghah itu beres, akan bereslah seluruh jasadnya, dan jika mudhghah itu rusak, akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itu adalah hati.” Dengan demikian, tidak benar orang yang berpendapat bahwa lisan itu membantu hati, yang benar justru sebaliknya, hati membantu lisan.

Ketiga :
قِيَاسًا عَلَى نِيَّةِ الْحَجِّ
Diqiyaskan kepada niat melaksanakan haji.
Maksudnya, dalam memulai ibadah haji disyari’atkan melafalkan, “Labbaika Allaahumma Hajjan”, yang artinya (Aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji).

Lafazh ini diucapkan dengan lisan sebagai niat ibadah haji, maka kalau niat ibadah haji boleh diucapkan dengan lisan, tentu saja niat dalam shalat juga boleh diucapkan dengan lisan.
Penjelasan :
لَا قِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ مُتَقَدَّمٌ عَلَى الْحَجِّ فِى الْوُجُوْبِ.
Tidak ada qiyas dalam ibadah, di samping itu kewajiban shalat lebih dahulu disyari’atkan dari pada ibadah haji, shalat diwajibkan di Makkah, sedangkan haji baru disyari’atkan di Madinah.
عن أبى هريرة أن النبي صلعم قال : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبَلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ.
Dari Abu Hurairah r.a Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Jika engkau hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap ke kiblat, lalu bertakbir.” (H.R al-Bukhari)
فَالزَّائِدُ عَلَى الْمَشْرُوْعِ مَرْدُوْدٌ لِحَدِيْثِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Maka orang yang menambah dari yang disyari’atkan itu, pasti ditolak, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, “Siapa yang mengamalkan apa yang tidak diperintahkan oleh kami pasti ditolak.” (al-Sunan  Wa al-Mubtada’at hal 54).

Maksudnya :
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan Talaffuzh bi al-Niyat, melainkan langsung saja bertakbir. Menganggap sunnat Talafuzh bi al-Niyat sama saja dengan menambah aturan/ketentuan ibadah, hal ini sungguh dilarang, dan pasti ditolak.
كَانَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إذَا قَامَ إلَى الصّلَاةِ قَالَ " اللّهُ أَكْبَرُ " وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلَا تَلَفّظَ بِالنّيّةِ الْبَتّةَ وَلَا قَالَ أُصَلّي لِلّهِ صَلَاةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا وَلَا قَالَ أَدَاءً وَلَا قَضَاءً وَلَا فَرْضَ الْوَقْتِ وَهَذِهِ عَشْرُ بِدَعٍ لَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ وَلَا مُسْنَدٍ وَلَا مُرْسَلٍ لَفْظَةً وَاحِدَةً مِنْهَا الْبَتّةَ بَلْ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَلَا اسْتَحْسَنَهُ أَحَدٌ مِنْ التّابِعِينَ وَلَا الْأَئِمّةِ الْأَرْبَعَةِ وَإِنّمَا غَرّ بَعْضَ الْمُتَأَخّرِينَ قَوْلُ الشّافِعِيّ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ فِي الصّلَاةِ إنّهَا لَيْسَتْ كَالصّيَامِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا أَحَدٌ إلّا بِذِكْرٍ فَظَنّ أَنّ الذّكْرَ تَلَفّظُ الْمُصَلّي بِالنّيّةِ وَإِنّمَا أَرَادَ الشّافِعِيّ رَحِمَهُ اللّهُ بِالذّكْرِ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ لَيْسَ إلّا وَكَيْفَ يَسْتَحِبّ الشّافِعِيّ أَمْرًا لَمْ يَفْعَلْهُ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ وَلَا أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ وَأَصْحَابِهِ وَهَذَا هَدْيُهُمْ وَسِيرَتُهُمْ فَإِنْ أَوْجَدَنَا أَحَدٌ حَرْفًا وَاحِدًا عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ قَبِلْنَاهُ وَقَابَلْنَاهُ بِالتّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ وَلَا هَدْيَ أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِمْ وَلَا سُنّةَ إلّا مَا تَلَقّوْهُ عَنْ صَاحِبِ الشّرْعِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ .
Telah berkata Ibnul Qayyim, “Adalah Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam apabila berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan “Allaahu Akbar”, dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya dan tidak melafazhkan niat sama sekali, juga tidak mengucapkan “Ushallii Lillaahi... (Aku shalat karena Allah, shalat ini dengan menghadap kiblat, empat rakaat sebagai imam atau makmum, dan juga tidak mengucapkan “Adaa’an (tunai) atau Qadha dan juga tidak mengucapkan Fardhan al-Waqti. Ini adalah sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh seorang pun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung ataupun mursal (terputus), satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang shahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan tabi’in atau dari para imam madzhab yang empat. (Zaadu al-Ma’aad,  I : 51).
 
Kesimpulan :
Pendapat yang terkuat dalam hal Talafuzh bi al-Niyat adalah pendapat yang menetapkan bahwa Talafuzh bi al-Niyat itu bid’ah/mengada-ada aturan atau syari'at baru dalam Islam, mengingat :
1.  Tidak dicontohkan oleh Nabi dan Para shahabatnya bahkan tidak juga oleh para imam madzhab yang empat.
2.  Alasan agar lisan membantu hati kurang kuat karena pada kenyataannya justru hatilah yang membantu lisan, karena hati adalah penggerak seluruh kegiatan anggota badan.

3.  Alasan diqiyaskan kepada niat haji kurang tepat. Pertama, karena shalat lebih dahulu diwajibkannya dari pada haji. Kedua, karena dalam ibadah itu tidak ada qiyas.

4.  Niat itu memang wajib karena niat itu yang menentukan nilai suatu amal, tetapi dalam pelaksanaannya tidak usah diucapkan dengan lisan dan cukup dalam hati saja. 

5.  Jika dibenarkan melafazhkan niat dalam wudhu, shalat, dll. Maka bagaimana melafazhkan niat dalam makan, minum, masuk pasar, berdagang, belajar, naik kendaraan, menulis, membaca, dll?

6.  Dengan demikian melafazhkan niat itu hanya ada dalam haji saja, jika memang dalam berwudhu, shalat, shaum, dll ada Talaffuzh bi an-Niyaat, maka mesti ada dalil yang memerintahkannya seperti diperintahkannya Talaffuzh bi an-Niyat dalam haji.

7. Seperti dalam qaidah fiqhiyyah : “Pada asalnya dalam ibadah itu batal/haram kecuali ada dalil yang memerintahkannya”.
Jika Rasul tidak memerintahkan untuk Talaffuzh bi an-Niyat, maka tidak usah ditambah dengan melafazhkan niat karena dalam hadits di atas sudah jelas bahwa Rasulullah dalam shalat tidak melafazhkan niat tapi langsung takbir.

Allaahu a’lam bi ash-Shawaab..

Kamis, 19 Januari 2012

Berwudhu & Batal Shalat karena Darah


Berdasarkan keterangan yang shahih, pembatal wudhu itu sesuatu yang keluar dari dua lubang. Namun demikian ada sebagian ulama berpendapat bahwa salah satu yang membatalkan wudhu itu keluarnya darah dari sebagian anggota badan. Pendapat seperti ini bersumberkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Ibnu ‘Adi. Akan tetapi sayang, haditsnya tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Haditsnya ialah :
Hadits Pertama :
وعن عائشة أن رسول الله صلعم قال : مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِى ذَالِكَ لَا يَتَكَلَّمُ. أخرجه ابن ماجه وضعفه أحمد وغيره
Dari ‘Aisayah rhadhiyallahu 'anha. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa muntah, atau keluar sesuatu dari hidungnya (mimisan), atau keluar dari leher, atau keluar madzi, maka hendaklah ia berwudhu kemudian meneruskan shalatnya, jika dalam keadaan tersebut dia tidak berbicara” (H.R Ibnu Majah dan didha’ifkan (dilemahkan) oleh Ahmad dan yang lainnya).
Keterangan :
Ahmad dan al-Baihaqi berkomentar, Hadits ini Mursal bukan Marfu’ (Subulus-salam, Takhrij hadits nomor 68)
Hadits Kedua :
قاَلَ تَمِيْمُ الدَّارِي : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْوُضُوْءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ
Tamim ad-Dari berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “(Keharusan) berwudhu itu disebabkan setiap darah yang mengalir.” (H.R ad-Daruquthni).
A. Matan hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni melalui shahabat Tamim ad-Dari
Keterangan :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama :
1.  Umar bin Abdul Aziz. Ia mendengar dari Tamim ad-Dari (Munqathi’) bahkan ia tidak pernah melihatnya.
2.  Yazid bin Muhammad dan Yazid bin Khalid
Komentar Para Ulama :
a.  Al-Albani berkomentar dalam Kitabnya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wal Maudhu’ah I : 482, “Kedua rawi ini majhul”.
b.  Ad-daruquthni berkomentar, “Kedua rawi tersebut majhul”
3.  Baqiyah bin al-Walid
Komentar Para Ulama :
a.  Al-Khatib berkata, “Fii hadiitsihi manakir” (Pada haditsnya banyak yang diingkari), hanya yang paling banyak mengenai kemungkarannya itu apabila ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang tidak dikenal dalam periwayatan, walaupun ia sendiri shaduq (orang yang terpercaya).”
b.  Al-Baihaqi berkata dalam kitab Al-Khilafiyat, “Mereka sepakat bahwa Baqiyah itu tidak bisa dijadikan hujah”
c.  Ibnu Qathan berkata, “Baqiyah itu (sering) melakukan tadlis (penyamaran) dari orang-orang yang dha’if”
(Tahdzibut-Tahdzib I : 478)
d.  Abdurrahman bin Abu Hatim ar-Razi berkata, bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Hadits Baqiyah itu ditulis dan tidak dijadikan hujjah” (Al-Abathil wal Manakir I :352)
Walaupun ia menjadi rijal al-Bukhari dan Muslim, tetapi bukan untuk menjadi rawi yang pokok melainkan hanya dijadikan syahid saja. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Husaini bin Ibrahim.
e.  Al-Jauraqani berkata, “Baqiyah itu apabila tafarud (sendirian dalam meriwayatkan), maka riwayatnya tidak dijadikan hujjah, disebabkan banyaknya tadlis. Walaupun sesungguhnya Muslim bin al-Hajaj dan jama’atun (sekelompok) dari para imam telah meriwayatkan darinya sebagai i’tibar (perbandingan) dan syahid, dan mereka tidak menjadikan tafarudnya itu sebagai pokok.” (Al-Abathil wal Manakir I : 353)
B. Ibnu ‘Adi melalui shahabat Zaid bin Tsabit.
Keterangan :
Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1. Baqiyah bin al-Walid
Tentang kedha’ifan Baqiyah telah dijelaskan dalam riwayat ad-Daruquthni di atas.
2.  Ahmad bin al-Farj bin Sulaiman al-Kindi Abu Utbah al-Himshi yang dikenal sebagai Al-Hijaj, ia wafat di Himshi tahun 271 H.
Komentar Para Ulama :
a.  Ibnu Hibban menerangkan dalam kitabnya Ats-Tsiqat, “Ia seorang rawi yang banyak salah”
b.  Ibnu ‘Adi berkata dalam Kitab Nasbur Rayah, “Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali melalui Ahmad, sedangkan ia termasuk rawi yang tidak dapat dijadikan hujjah.” (Nasbur Rayah I : 37)
Hadits Ketiga :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ دَمًا سَائِلًا
 “Dari Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada wudhu disebabkan setetes dan dua tetes darah, kecuali darah yang mengalir.”
عن أبى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لَيْسَ فِى الْقَطْرَةِ وَالْقَطْرَتَيْنِ مِنَ الدَّمِ وُضُوْءٌ حَتَّى يَكُوْنَ دَمًا سَائِلًا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Tidak ada wudhu disebabkan setetes dan dua tetes darah, sampai berupa darah yang mengalir.”
Keterangan :
Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. Dan keduanya dha’if, sebab pada sanadnya terdapat rawi yang bernama :
1.  Muhammad bin al-Fadhl, nama lengkapnya adalah bin Athiyah bin Umar bin Khalid al-‘Abasiy Abu Abdillah al-Kufi, disebut juga Al-Marwazi dan ia tinggal di Bukhara.
Komentar para ulama :
a.  Mu’awiyah bin Shalih berkata dari Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi yang dha’if lagi pendusta”
b.  Imam Ahmad berkomentar, “Haditsnya adalah hadits Ahlu Kadzab (tukang dusta)”
c.  ‘Amr bin ‘Ali dan Imam Muslim berkomentar, “Matrukul Hadits”
d.  Abu Zur’ah berkomentar, “Dha’iful Hadits”
e.  Imam an-Nasai berkomentar, “Ia seorang rawi pendusta”
d.  Shalih bin Muhammad al-Hafizh dan Ibnu Hibban berkomentar, “Ia seorang rawi yang suka memalsukan hadits dari rawi-rawi yang tsiqat (dapat dipercaya), sehingga tidak halal untuk dicatat haditsnya melainkan hanya dijadikan sebagai bahan kajian”
(Tahdzibul Kamal XXVI : 280)
2. Hajaj bin Nushair al-Fasatity al-Qaisyi
Komentar para ulama :
a.  Ibnu Ma’in berkomentar, “Ia seorang rawi yang dha’if”
b. ‘Ali al-Madini berkomentar, “Dzahaba Haditsuhu” (haditsnya hilang)
c.  Abu Hatim berkomentar, “Munkarul Hadits” (hadits-haditsnya diingkari), Dha’iful Hadits, Turika Haditsuhu (haditsnya ditinggalkan), dan orang-orang tidak ada yang meriwayatkan darinya”
d.  Imam Bukhari berkomentar, “Sakatu ‘anhu (ia rawi yang tidak diperbincangkan mengenai sifat diterima atau ditolak dalam periwayatannya)”
e.  Imam an-Nasai berkomentar, “Ia rawi yang dha’if, tidak termasuk rawi yang tsiqat, dan hadits-haditsnya tidak ditulis”
f.   Abu Hatim bin Hibban mengatakan dalam kitabnya Ats-Tsiqat, “Ia rawi yang banyak salah serta tertuduh dusta”
(Tahdzibul Kamal V : 461)
Hadits Keempat :
عن أبى هريرة يَرْفَعُهُ قَالَ : تُعَادُ الصَّلَاةُ مِنْ قَدْرِ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ
Dari Abu Hurairah, ia memarfukannya (dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam), beliau bersabda, “Shalat itu mesti diulangi disebabkan darah seukuran dirham.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Kitabnya As-Sunanul Kubra II : 404, Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’aful Kabir II : 56, dan Ad-Daruquthni dalam Sunan Ad-Daruquthni I : 401.
Keterangan :
Dalam ketiga sanad hadits tersebut terdapat rawi yang bernama Rauh bin Ghuthaif.
Komentar Para Ulama :
a.  Ibnu Ma’in berkomentar, “Dha’if”
b.  Imam an-Nasai berkomentar, “(ia itu) matruk”
(Mizanul ‘Itidal II : 60)
c.  Al-Bukhari dan Ibnu Hibban berkomentar, “Hadits ini bathil, sedangkan Rauh itu munkarul hadits (tidak halal meriwayatkan hadits darinya), Ia suka meriwayatkan hadits-hadits Maudhu’ (palsu) dengan mengatasnamakan dari rawi-rawi yang tsiqat, sehingga hadits yang ia riwayatkan tidak halal untuk ditulis”
d.  Ad-Daruquthni berkomentar “Munkarul Hadits”, dan menurut Imam an-Nasai, “Ia rawi yang tidak kuat”. (Mizanul ‘Itidal II : 60. Al-Maudhu’at II : 76, Sunan ad-Daruquthni I : 401)
Hadits Kelima :
عن أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اَلدَّمُ مِقْدَارُ الدِّرْهَمِ يَغْسِلُ وَتُعَادُ مِنْهُ الصَّلَاةُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Darah seukuran dirham itu mesti dicuci dan diulangi shalatnya”
Hadits ini terdapat dalam beberapa kitab yang di antaranya Al-Khatib, Tarikh Baghdad IX : 330, Al-La-aliul Masnu’ah II : 3, Nashbur Rayah I : 212, Tanjihusy-Syari’ah II : 66, dan Al-Maudhu’at II : 75-76.
Keterangan :
Pada sanadnyya terdapat rawi yang bernama Nuh bin Abu Maryam, adapun namanya adalah Mabanah dan disebut juga Mafanah, adapula yang mengatakan Yazid bin Ja’wanah al-Marwazi Abu ‘Ishmah al-Quraisyi seorang hakim di Marwa, ia lebih dikenal dengan sebutan Nuhul Jami’.
Komentar Para Ulama :
a. Ahmad bin Said bin Abu Maryam bertanya kepada Yahya bin Ma’in mengenai Nuh bin Abu Maryam, ia menjawab, “Ia seorang rawi yang tidak ada apa-apanya dan hadits-haditsnya tidak ditulis”
b.  Abu Zur’ah berkomentar, “Dha’iful Hadits”
c.  Abu Bisyr ad-Daulabi dan Ad-Daruquthni berkomentar, “Munkarul Hadits”
d.  Al-Bukhari berkomentar, “Munkarul Hadits”. Pada kesempatan lain ia mengatakan, “Nuh bin Abu Maryam, Dzabihul Hadits (haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah)”
e.  An-Nasai berkomentra, “Ia tidak tsiqat, tidak ditulis haditsnya, dan haditsnya lemah”
(Tahdzibul Kamal XXX : 59-60)
f. Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Ibnu Uyainah berkomentar, “Ia rawi pendusta”
g. As-Saji berkomentar, “Matrukul Hadits dan ia memiliki hadits-hadits yang bathil”
h. Al-Khalili berkomentar, “Para ulama sepakat atas kedha’ifannya”
(Tahdzibut Tahdzib X : 488)
Hadits Keenam :
إِذَا كَانَ فِى الثَّوْبِ قَدْرَ الدِّرْهَمِ مِنَ الدَّمِ غُسِلَ الثَّوْبُ وَأُعِيْدَتِ الصَّلَاةُ
“Apabila pada baju terdapat darah sebesar dirham, maka baju itu mesti dicuci dan diulangi shalatnya”.
(H.R ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni I : 401, Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at II : 76)
Keterangan :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Asad bin Amar Abu Munndzir al-Bajaly.
Komentar Para Ulama :
a. Yazid bin Harun berkomentar, “Tidak halal meriwayatkan hadits dari dia”
b. Yahya bin Ma’in, “Ia seorang rawi pendusta”
c. Imam Al-Bukhari serta Al-Falasy berkomentar, “Ia rawi yang lemah”
d. Imam an-Nasai berkomentar, “Ia rawi yang tidak kuat” (Mizanul ‘Itidal I : 202).
Kesimpulan :
1.  Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka baik darah yang mengalir dari sebagian tubuh ataupun darah yang hanya kena kepada pakaian atau sebagian anggota badan itu tidak membatalkan wudhu dan tidak usah mengulangi shalat.
2.  Bertentangan dengan hadits shahih yang diiriwayatkan oleh Al-Bukhari, yaitu diterangkan bahwa Al-Hasan berkata, “Tidak henti-hentinya kaum muslimin shalat dalam keadaan terluka”.
3. Ath-Thawus, Muhammad bin ‘Ali, Atha dan Ahlu Hijaj mengatakan, “Tidak ada wudhu karena darah”. Maksudnya orang tidak batal wudhu karena darah.”
4.  Shahabat Ibnu Umar pernah memijit jerawatnya, kemudian keluar darah, dan ia tidak berwudhu lagi.
5.  Ibnu Umar dan Al-Hasan mengatakan tentang orang yang berbekam, “Tidak ada (wudhu) baginya kecuali mencuci bekas bekamnya”
(Fathul Bari I : 336)
6.  Adapun darah haid dan nifas itu termasuk najasat. Apabila kedua macam darah itu terbawa shalat, memang tidak membatalkan shalatnya, namun sebelumnya darah tersebut harus dihilangkan. Karena itu Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam menetapkan aturan bahwa bila darah haid itu kena baju, maka harus dibersihkan, sebagaimana keterangan hadits berikut :
عن أسماء قالت : جاءت امرأة النبي صلعم فقالت : أرأيت إحدانا تحيض فى الثوب كيف تصنع ؟ قال : تحته ثم تقرصه بالماء وتنضحه وتصلى فيه
“Dari Asma, ia berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam lalu bertanya, Bagaimana menurut Anda tentang seseorang dari kami darah haid mengenai bajunya. Apa yang mesti dilakukannya, Nabi saw menjawab, cukup ia mengeriknya, menggosoknya dengan air, dan mencucinya, kemudian ia boleh shalat padanya.” (H.R al-Bukhari)

Jumat, 13 Januari 2012

QUNUT -Tinjauan Syar'i-


Mukadimah
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari ni`mat-ni`mat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S. an-Nahl : 112)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan :
فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” Yakni, memakaikan dan menimpakan kelaparan kepada penduduk Mekkah, setelah sebelumnya mereka memperoleh berbagai jenis  buah-buahan dan rezekinya datang dari segala penjuru dengan melimpah ruah. Yang demikian itu disebabkan mereka mendurhakai Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan menentangnya. Kemudian beliau berdoa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ إِذْ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَالَ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Abu Hurairah berkata, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam shalat Isya, beliau berkata “sami'allahuliman hamidah,” kemudian beliau berkata sebelum sujud, Ya Allah selamatkanlah Al-Walid ibnu al-Walid, Ya Allah selamatkanlah orang-orang yang lemah dari golongan mukminin, Ya Allah jadikanlah tindasanmu atas mereka itu tahun-tahun (kepayahan) sebagimana tahun-tahun (kepayahan) Nabi Yusuf. (H.R al- Bukhari).
Doa Nabi dikabulkan oleh Sang Pencipta Langit dan Bumi beserta Isinya, mereka ditimpa bencana berupa kekurangan pangan selama tujuh tahun seperti yang menimpa kaum Nabi Yusuf. Mereka ditimpa dengan kekeringan yang melenyapkan sesuatu, sehingga mereka memakan kotoran unta yang dicampur dengan darahnya jika mereka menyembelihnya.
Itulah Qunut yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, yaitu mendoakan kebaikan kepada seseorang dan keburukan kepada suatu kaum yang tidak tahu diri.
أخبرنا المبارك بن أحمد قال أنبأنا الحسن بن مرزوق قال أنبأنا أحمد بن علي قال أخبرني عبد الله بن أبي الفتح قال حدثنا المعافى بن زكريا قال حدثنا محمد بن مرزوق قال حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري قال حدثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَقْنُتُ إِلاَ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلىَ قَوْمٍ
Anas ra, berkata, “Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. tidak Qunut melainkan apabila hendak mendoakan kebaikan bagi suatu kaum atau kecelakaan atas suatu kaum.” (at-Tahqiq fii hadiitsil-khilaf  Juz I Hal 186)
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَأُقَرِّبَنَّ صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَصَلَاةِ الْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ
Abu Hurairah r.a. berkata, “Sungguh akan aku tunjukkan kepadamu shalat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka Abu Hurairah qunut pada rakaat yang akhir dari shalat zhuhur, isya dan shubuh, setelah mengucapkan sami'allahu liman hamidah, ia mendoakan keselamatan kaum mukmin dan ia melaknat kaum kafir.” (H.R  al-Bukhari)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيُّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ هِلَالِ بْنِ خَبَّابٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
Ibnu ‘Abbas r.a. berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. pernah berqunut satu bulan berturut-turut pada shalat zhuhur, ‘asar, maghrib, Isya dan shubuh pada akhir tiap-tiap shalat sesudah mengucapkan sami'allahuliman hamidah, yaitu pada rakaat yang akhir. Ia mendoakan kecelakaan atas suatu kaum yang bernama, Ra'lin, Dzakwan, dan Ushayyah dari kaum Bani Sulaim, sementara makmum yang dibelakangnya mengaminkannya.” (H.R Abu Dawud)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
Abu Hurairah r.a. berkata, “Sesungguhnya apabila hendak mendo’akan kecelakaan atas seseorang atau kebaikan bagi seseorang, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam qunut sesudah rukuk.” (H.R al-Bukhari)
Para Ulama fiqih telah sepakat, bahwa doa qunut itu tidak boleh dikerjakan di shalat Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, isya, melainkan di waktu ada bencana yang menggoncang kaum muslimin.
Pengertian Qunut
A. Qunut dari segi bahasa berasal dari قَنَتَ – يَقْنُتُ– قُنُوْتًا
Artinya merendahkan diri, taat, patuh, tunduk.
B. Qunut dari segi syar'I
ialah Do’a yang dipanjatkan pada waktu adanya nazilat (musibah yang menimpa kaum muslimin) atau mendo’akan kebaikan atau keburukan kepada seseorang atau suatu kaum dan dilakukan pada rakaat terakhir setelah bangkit dari ruku, sesudah membaca “Sami'allahu liman hamidah”, pada setiap shalat fardhu.
Adapun Qunut khusus di shalat shubuh, maka para ulama terpecah menjadi dua Firqah, yaitu yang membolehkan, menganjurkan bahkan menganggapnya termasuk "SUNAT AB'ADH", yang apabila ditinggalkan mesti sujud sahwi dan yang lain melarang qunut pada shalat shubuh.
Mari kita lihat pendapat masing-masing firqah, serta mengkritisinya dengan pemahaman Ulumul Hadits dan Ushul fiqih, lalu kemudian kita menetapkan pilihan mana yang kita sepakati, karena kita tidak boleh mengikuti sesuatu yang kita tidak punya pengetahuan padanya, karena Allah swt telah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S al-Israa : 36)
Para Imam Madzhab
Imam Abu Hanifah Rahimahullah berkata :
 *إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika Hadits itu shahih maka itulah Mazhabku”
* لا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَوْلِنَا مَالَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ اَخَذْنَاهُ. وفى رواية : حرَاَمٌ عَلىَ مَنْ لمَ ْيَعْرِفْ دَلِيْلِى أَنْ يُفْتِيَ بكِلَاَمِيى، زاد في رواية : فَإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُوْلُ الْقَوْلَ الْيَوْمَ وَنَرْجِعُ عَنْهُ غَدًا.
“Tidak halal (haram) bagi seseorang mengikuti perkataan kami (para imam) bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya. Dan dalam satu riwayat : Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk menfatwakan ucapanku. Ia menambahkan dalam suatu riwayat : Sesungguhnya kami adalah manusia biasa, hari ini mengucapkan sesuatu dan kemungkinan besok mencabutnya kembali.”
* إِذَا قُلْتُ قَوْلًا يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم فَاتْرُكُوْ قَوْلِى (صفة صلاةة النبي)
“Apabila aku mengucapkan sesuatu yang menyalahi Kitab Allah dan Khabar Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. maka tinggalkanlah ucapanku itu.” (Shifatu shalaati an-Nabi hal 25)
Imam Syafi'i Rahimahullah berkata :
* أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلعم لم يحل له أن يدعها لقول أحد.
“Telah sepakat umat Islam, manakala telah jelas sunnah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya hanya karena ucapan seseorang.”
* إذا وجدتم فى كتابى خلاف سنة رسول الله صلعم فقولوا بسنة رسول الله صلعم ودعوا ما قلت. وفى رواية : فاتبعوها ولا تلتفنوا إلى قول أحد.
“Bila kalian menemukan sesuatu dalam kitabku yang berlainan (bertentangan) dengan sunnah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka katakanlah sunnah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan tinggalkanlah apa yang aku katakan. Dalam satu riwayat : Ikutilah sunnah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan janganlah menoleh pada ucapan seseorang.”
* إذا صح الحديث فهو مذهبى.
“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”
* كل مسألة صح فيها الخبر عن رسول الله صلعم عند أهل النقل بخلاف ما قلت فأنا راجع عنها فى حياتى وبعد موتى.
“Setiap masalah yang telah nyata shahihnya sebuah hadits dari Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam menurut ahli hadits, akan tetapi menyalahi apa yang aku katakan, maka aku akan kembali, baik di masa hidupku maupun di masa setelah aku mati.”

* إذا رأيتمونى أقول قولا وقد صح عن النبي صلعم خلافه فاعلموا أن عقلى قد ذهب.
“Apabila kamu melihat aku mengucapkan sesuatu padahal telah jelas ada hadits shahih dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam yang menyalahi ucapanku, maka ketahuilah sesungguhnya akalku telah hilang.”
* كل حديث عن النبي صلعم فهو قولى وإن لم تسمعوه منى. (صفة صلاة النبي )
“Setiap hadits dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam adalah ucapanku, meskipun kamu tidak mendengarnya dariku.” (Shifatu Shalaati an-Nabi hal 29).
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata :
* إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيى, فكل ما واقف الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه.
“Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa, (kadang) salah dan (kadang) benar, maka perhatikanlah pendapatku setiap yang cocok dengan Kitab dan Sunnah, maka ambilllah olehmu, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah."
* ليس أحد بعد النبي صلعم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلعم.
 “Tidak ada seorangpun selain Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam kecuali ucapannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
* لا تقالدنى ولا تقلد مالكا ولا شافعي ولا الأوزاعى ولا الثورى, وخذ من حيث أخذوا.
“Janganlah kamu taqlid padaku, dan jangan pula taqlid kepada Imam Malik, Syafi’I, al-Auza’I serta ats-Tasuri. Ambillah dari mana mereka mengambil.”
* لاتقلد دينك أحدا من هؤلاء ما جاء عن النبي صلعم وأصحابه فخذ به ثم التابعين بعد, الرجل فيه مخير. وقال مرة : الإتباع, أن يتبع الرجل ما جاء عن النبي صلعم وعن أصحابه ثم هو بعد التابعين مخير. (صفة صلاة النبي )
“Janganlah kamu taqlid kepada seseorang dalam agamamu, apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan shahabatnya, ambillah, kemudian para tabi’in dan setelahnya (tabi’in), seseorang boleh memilihnya. Di lain waktu ia berkata : Ittiba’ itu ialah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dan para shahabatnya, kemudian setelah tabi’in boleh memilihnya. (Shifatu Shalaati an-Nabi, hal 31).
A. Dalil yang digunakan golongan yang membolehkan Qunut shubuh
Hadits pertama :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tidak meninggalkan qunut pada shalat shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.” (H.R Ahmad)
حديث أن النبي  صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُوْا عَلَى قَاتِلِي أَصْحَابِهِ بِبِئْرِ مَعُوْنَةَ ثُمَّ تَرَكَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ   يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
 ( الدارقطني من حديث عبيد الله بن موسى عن أبي جعفر الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس)
Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam pernah berdoa Qunut selama satu Bulan, yaitu mendoakan (kecelakaan) atas orang-orang yang membunuh shahabat – shahabatnya di Bi’r Ma’unah, kemudian beliau berhenti, adapun shalat shubuh maka beliau tak putus-putus berqunut, sehingga beliau meninggal dunia. (H.R ad-Daruqutni)
حدثنا أحمد بن إسحاق بن بهلول حدثنا أبي حدثنا عبيد الله بن موسى ح وحدثنا أبو بكر النيسابوري حدثنا أحمد بن يوسف السلمي ثنا عبيد الله بن موسى ثنا أبو جعفر الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس ثم أَنَّ النبي  صلى الله عليه وسلم  قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُوْا عليهم ثم تركه وأما في الصبح فلم يزل   يقنت حتى فارق الدنيا
Dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas, “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melakukan qunut selama satu bulan, beliau mendo’akan kecelakaan bagi mereka kemudian meninggalkannya, dan adapun pada waktu shubuh beliau terus menerus qunut ssehingga meninggal dunia.” (H.R. al-Baihaqi)
عن الربيع بن أنس قال قال رَجُلٌ لِأَنَسْ بِنَ مَالَكٍ   أَقَنَتَ رَسُوْلُ  اللهِ  صلى الله عليه وسلم  شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ قَالَ فَزَجَرَهُ أَنَسْ وَقَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari ar-Rabi' bin Anas ia berkata, “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Anas bin Malik, betulkah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam pernah berqunut selama satu bulan, yaitu bendoakan kecelakaan untuk satu kabilah dari bangsa Arab?, Berkata (Rabi’), lalu Anas menegur dia dengan keras sambil berkata, tidak putus-putus Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam berqunut di shalat shubuh sehingga beliau meninggal dunia.” (H.R Ishaq bin Rawahih)
Keterangan :
Penjarahan terhadap rawi :
Pada sanad ketiga hadits ini ada rawi yang bernama Abu Ja'far Ar-Razi.
Komentar para ulama :
Abdullah bin Ahmad berkomentar, Ia tidak kuat.
‘Ali al-Madini berkomentar, “Dia itu mukhtalith (bercampur ingatan).”
Abu Zur’ah berkomentar, “Dia telah banyak tertuduh dusta”
‘Amr bin ‘Ali al-Falas, “Dia jujur, namun hafalannya jelek.”
(Nailul Authar 2 : 386)
Imam Ibnu Taimiyah berkata, Ia itu tukang Pemalsu Hadits.”
Dalam sanad hadits tersebut terdapat nama Abu Ja’far ar-Razi, dia lemah dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah, karena tidak masuk akal, seandainya Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melakukan qunut shalat shubuh sepanjang hidupnya, lalu para khalifah setelah Nabi meninggalkannya (qunut), bahkan Anas sendiri tidak melaksanakan qunut pada waktu shubuh, sebagaimana riwayat shahih darinya.
Andaikan keshahihan hadits ini dapat diterima, maka seyogyanya pengertian qunut disana diartikan bahwasannya Nabi memanjangkan berdiri setelah ruku’ untuk berdo’a, serta memuji, hingga Nabi wafat. Maka ini pula salah satu dari pengertian qunut dan memang inilah yang cocok sebagaimana (dimaksud) dalam hadits ini. (Fiqh Sunnah 1 : 199)
Bagaimana mungkin sanadnya shahih? Sedangkan yang meriwayatkan hadits ini al-Rabi’, yakni Abu Ja’far Isa bin Mahan, padahal dia diperbincangkan. Menurut Ibnu Hanbal serta Nasai bahwa dia itu tidak kuat/lemah, dan berkata Abu Zur’ah : Dia telah banyak tertuduh dusta, dan berkata al-Falas : Jelek hafalannya, dan berkata Ibnu Hibban : Dia suka menceritakan hadits-hadits yang munkar dari orang-orang masyhur.” (al-Jauhar an-Naqi 2 : 201).
Anas sendiri tidak mengatakan : “Dan Nabi senantiasa melakukan qunut setelah ruku’ sambil mengeraskan suaranya dengan do’a : Allaahumma ihdini fii man hadaita.” (Zaadul Ma’aad : 1 : 71)
Kalaulah hadits itu shahih, maka sama sekali tidak menunjukkan atas qunut tertentu (qunut shubuh). (Zaadul Ma’aad 1 : 70).
Hadits ini menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, al-Khatib dan Ibnu Majah dari Anas, bahwasannya Nabi tidak melakukan qunut pada shalat shubuh, kecuali mendo’akan keselamatan satu kaum dan atau mendo’akan kecelakaan atas satu kaum. (Fiqh Sunnah 1 : 198).
Mereka menerangkan tentang hadits Anas, bahwasannya hadits tersebut dha’if dan tidak dapat dijadikan hujjah, karena diriwayatkan oleh perawi Abu Ja’far ar-Razi, dan dia sekalipun dianggap kuat oleh segolongan, tetapi tetap masih diperbincangkan, serta menambah kuat kedha’ifan hadits itu, yakni diriwayatkan oleh al-Khatib dari jalan Qais bin Rabi dari ‘Asyim bin Sulaiman, ia berkata : “Kami bertanya kepada Anas bin Malik tentang suatu kaum yang mengira bahwasannya Nabi melakukan qunut di waktu (shalat) fajar, Anas menjajwab :”Mereka itu dusta, sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam hanya melakukan qunut selama satu bulan untuk mendo’akan kecelakaan kepada suatu kaum yang ada di Arab.”
Berkata Ibnul Qayyim dalam al-Hadyu, “Qais bin Rabi, walaupun tidak didha’ifkan oleh Yahya, akan tetapi Qais telah dianggap tsiqat oleh yang lain, dia tidak di bawah Ja’far ar-Razi, maka mana mungkin Abu Ja’far dapat dijadikan hujjah, atas ucapannya : “Nabi senantiasa qunut sehingga meninggal dunia.”
Sedang Qais tidak bisa dijadikan hujjah dalam hadits ini, padahal Qais lebih kuat daripadanya (Abu Ja’far), atau setara dengannya, ditambah (pula) orang-orang yang mendha’ifkan Ja’far lebih banyak daripada orang-orang yang mendha’ifkan Qais. (al-Fathu ar-Rabani 3 : 304)
Hadits Kedua
عن ابن سيرين أن أنسا بن مالك سئل : هل قنت النبي صلعم في صلاة الصبح ؟ فقال : نعم, فقيل له : قبل الركوع أو بعده ؟ قال : بعد الركوع (رواه الجماعة إلا الترمدي)
Dari Ibnu Sirin, sesungguhnya Anas bin Malik ditanya, “Apakah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melaksanakan qunut pada shalat shubuh?” Maka ia menjawab, “Ya”, maka ia ditanya lagi, “Sebelum ruku atau sesudahnya?” Ia menjawab, “Setelah ruku’”. (H.R al-Jama’ah, kecuali at-Tiirmidzi).
Keterangan :
و فى هذا الإستدلال نظر, لأن القنوت المسؤول عنه هو قنوت النوازل كما جاء ذالك صريحا فى رواية البخاري ومسلم
a. Dalam masalah ini perlu peninjauan kembali, karena qunut yang ditanyakan kepadanya itu adalah qunut nazilah, sebagaimana telah terdapat secara sharih (jelas) dalam hadits al-Bukhari dan Muslim. (Fiqh Sunnah 1 : 198).
وكذالك ما رواه ابن ماجه عن أنس بن مالك قال : سئل عن القنوت فى صلاة الصبح, فقال : كنا نقنت قبل الركوع وبعده
b. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik, ia berkata, “Ia telah ditanya tentang qunut pada shalat shubuh,” maka ia menjawab, “Adalah kami suka melakukan qunut sebelum ruku’ dan sesudahnya.” (H.R Ibnu Majah, 1 : 374)
و للبخاري عن أنس أنه سئل عن القنوت, فقال : قد كان القنوت, فقيل له قبل الركوع أو بعده ؟ قال : قبله. قيل : فإن فلانا أخبر عنك أنك قلت بعد الركوع, قال : كذب إنما قنت رسول الله صلعم بعد الركوع شهرا أراه كان بعث قوما يقال لهم القراء زهاء سبعين رجلا إلى قوم من المشركين
c.  Dan  menurut al-Bukhari dari Anas r.a. bahwasannya Anas ditanya tentang qunut. Maka ia menjawab, “Sesungguhnya qunut itu ada,” maka ia ditanya lagi, “Sebelum ruku’ atau setelahnya?”. Ia menjawab, “Sebelumnya.” Sesungguhnya si Fulan telah mengabarkan darimua, bahwasannya kamu mengatakan sesudah ruku’. Anas menjawab, “Bohong!, hanyasannya Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melakukan qunut sesudah ruku’ selama satu bulan, yang aku mengira, beliau mengutus satu kaum bernama AL-QURA, kira-kira sebanyak 70 orang kepada kaum musyrikin.” (H.R. al-Bukhari 1 : 178)
أما المراد بالقنوت قبل الركوع, فهو طول القيام بقراءة سورة طويلة. فإن الصبح تطول فيه القراءة كما ثبت فى الحديث الصحيح
d.  Adapun yang dimaksud qunut sebelum ruku’ adalah memanjangkan berdiri sambil membaca surat yang panjang, karena shalat shubuh dilaksanakan dengan bacaan surat-surat yang panjang, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam hadits shahih.
Hadits Ketiga :
قال الربيع للشافعي : قلت : فأنت تقنت في الصبح بعد الركوع ؟ فقال : نعم, لأن النبي صلعم قنت ثم أبا بكر ثم عمر ثم عثمان (المجموع)
Rabi’ berkata : Aku bertanya kepada asy-Syafi’I, “Kamu suka melakukan qunut pada waktu shubuh sesudah ruku’?” ia menjawab “Ya”, sebab sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam pernah melakukan qunut, demikian pula Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman.” (al-Majmu’)
Keterangan :
a.  Hadits ini dan yang sebelumnya (hadits dari Awwam bin Hamzah), bertentangan dengan hadits yang shahih dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, yaitu :
عن أبي مالك الأشجعى قال : قلت لأبى يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلعم وأبى بكر وعمر وعثمان وعلي ههنا بالكوفة قريب من خمس سنين, أكانوا يقنتون ؟ قال : أي بني محدث. (رواه أحمد والترمذي وصححه وابن ماجه)
Dari Abi Malik al-Asyja’I, ia berkata, “Aku bertanya kepada bapakku, wahai bapakku. Sesungguhnya engaku shalat bersama Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman di kuffah kira-kira 5 tahun, apakah mereka suka melakukan qunut?, ia menjawab, “Wahai anaku! Itu adalah perkara bid’ah.” (H.R Ahmad dan at-Tirmidzi dan ia menshahihkannya serta menurut Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, “Apakah mereka itu melakukan qunut pada waktu (shalat) fajar?”.
b. Dan menurut riwayat an-Nasai dengan lafazh sebagai berikut, “Aku melakukan shalat di belakang Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau tidak melakukan qunut, demikian pula di belakang Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, kemudian ia berkata, “Wahai anakku! Itu bid’ah.” (Nailul Authar 2 : 160, al-Fathu ar-Rabbani 3 : 309).
Dan berkata al-Hafidz dalam al-Talkhis, “Sanadnya hasan” (Nailul Authar 2 : 358, al-Fathur Rabbani 3 : 310).
Berkata Abu Isa, “Hadits ini hasan, dan hadits itu diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu.” (Tuhfatu al-Ahwadzi 2 : 436).
Hadits Keempat :
* عن طارق قال : صليت خلف عمر الصبح فقنت
Dari Thariq berkata, “Aku shalat shubuh di belakang ‘Umar, dan dia melakukan qunut.”
* عن عبيد بن عمير قال : سمعت عمر يقنت ههنا فى الفجر بمكة.
Dari ‘Ubaid bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar bahwasannya ‘Umar qunut pada waktu shalat di Makkah.”
* عن لأسود قال : صليت خلف عمر بن الخطاب فى السفر والحضر فما كان يقنت إلا في صلاة الفجر.
Dari Aswad, ia berkata, “Aku pernah shalat di belakang ‘Umar bin Khaththab, baik dalam safar atau muqim, maka ia tidak melakukan qunut, kecuali pada shalat fajar.”
* عن أبي عثمان النهدي قال : صليت خلف عمر ست سنين فكان يقنت (السنن الكبرى)
Dari Abu ‘Utsman an-Nahdi, ia berkata, “Aku shalat bersama ‘Umar r.a kurang lebih selama 6 tahun, dan ia suka melakukan qunut (shubuh).” (Al-Sunan al-Kubra 2 : 203)
* حدثنا هشيم قال أخبرنا علي بن زيد قال أخبرنا أبو عثمان النهدي قال صليت خلف عمر  بن الخطاب صلاة الصبح فقنت قبل الركوع    
Telah berkata Abu Utsman an-Nahdi, “Aku shalat di belakang Umar bin Khathab pada shalat shubuh, dan ia berqunut sebelum ruku’.” (H.R Abi Syaibah)
Keterangan :
Riwayat-riwayat yang disampaikan oleh al-Baihaqi dari ‘Umar tentang qunut tidak luput dari penelitian, sebagaimana telah dijelaskan, maka aku tidak tahu dari mana masyhurnya hadits itu, padahal justru yang masyhur dari ‘Umar itu, yaitu tidak melakukan qunut. Berdasarkan sanad-sanad yang shahih, ialah :
* علقمة والأسود, قال : صلي بنا عمر زمانا لم يقنت.
Dari ‘Alqamah dan al-Aswad, ia berkata, “Kami telah shalat bersama ‘Umar dalam jangka waktu lama, maka dia tidak melakukan qunut (shubuh).
* عن الأسود قال : صليت مع عمر في السفر والحضر ما لا أحصى فكان لا يقنت فى الصبح.
Dari Aswad, ia berkata, “Aku shalat bersama ‘Umar baik dalam keadaan safar maupun dalam keadaan muqim, yang tidak terhitung lamanya, maka ‘Umar tidak melaksanakan qunut di waktu shubuh.”
* عن علقمة قال : ما قنت أبو بكر ولا عمر ولا عثمان ولا قنت علي حتى حارب أهل الشام فكان يقنت.
Dari ‘Alqamah, ia berkata, “Adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali tidak melakukan qunut sampai terjadinya peperangan antara penduduk Syam, maka baru mereka melakukan qunut (nazilah).
* عن الأسود قال : صحبت عمر ابن الخطاب ست سنين فلم أره قانتا فى صلاة الفجر (الجوهر النقى)
Dari al-Aswad, ia berkata, “Aku pernah menyertai ‘Umar, kurang lebih selama 6 tahunan, dan aku belum pernah melihatnya melakukan qunut pada shalat fajar.” (al-Jauhar an-Naqi 2 : 204)
Hadits kelima :
رواه الحسن بن سفيان عن جعفر بن مهران عن عبد الوارث عن عمرو عن الحسن عن أنس قال صليت مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فلم يزل يقنت في صلاة الغداة حتى فارقته وخلف أبي بكر كذلك وخلف عمر كذلك وغلط بعضهم فصيره عن عبد الوارث عن عوف فصار ظاهر الحديث الصحة وليس كذلك بل هو من رواية عمرو وهو بن عبيد رأس القدرية ولا يقوم بحديثه حجة
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Saya shalat di belakang Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau tak putus-putusnya berqunut di shalat pagi  sehingga saya berpisah dengan beliau, dan saya pun bermakmum di belakang Abu bakar ia berqunut, dan begitupun di belakang Umar beliau berqunut.” (H.R al-Hasan bin Sufyan)
Keterangan :
Penjarahan terhadap rawi :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama ‘Amir bin Ubaid.
Komentar para ulama :
Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, an-Nasai, dan lainnya Berkomentar,  “Ia dari golongan Qadariah serta tukang dusta. Hadits tersebut dha’if”
Qodariyah adalah firqah yang berpendapat Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
Hadits Keenam :
روى الحاكم في المستدرك من طريق عبد الله بن سعيد المقبري عن أبيه عن أبي هريرة قال كان رسول الله  صلى الله عليه وسلم إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ فِي الرَّكَعَةِ الثَانِيَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ : اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيمن عافيت وتولني فيمن توليت وبارك لي فيما أعطيت وقني شر ما قضيت
Dari Abu Hurairah r.a ia telah berkata, adalah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam apabila mengangkat kepalanya dari ruku shalat shubuh pada rakaat yang kedua, beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa dengan doa :
اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيمن عافيت وتولني فيمن توليت وبارك لي فيما أعطيت وقني شر ما قضيت  إلخ
(H.R. al-Hakim, dan ia menshahihkannya)
Keterangan :
Penjarahan terhapat rawi :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Said al-Maqbari, dan ia tidak dapat dijadikan hujjah. (Subulus-salam I : 185)
Komentar para ulama :
Imam Ahmad, Ibnu Main & Yahya bin said, mereka berkomentar, ia itu Dhaif (lemah).
Hadits Ketujuh :
وللبيهقي عن ابن عباس قال : كان رسول الله صلعم يعلمنا دعاء ندعو به في القنوت من صلاة الصبح أللهم اهدني فيمن هديت إلخ.
Menurut riwayat al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas r.a, ia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami do’a yang mesti kami baca do’a tersebut pada qunut shubuh : Allaahumma ihdinii fii man hadaita, (sampai akhir).”
Keterangan :
Pada sanadnya terdapat nama ‘Abdurrahma bin Hurmuz, dan dia itu lemah. (Subulus-salam I : 187)
Hadits Kedelapan :
وعن الحسن بن علي عليهما السلام : علمني رسول الله صلعم كلمات أقولهن في قنوت الوتر : أاللهم اهدنى فيمن هديت ..... (رواه ابن ماجه والترمذي)
Dari Hasan bin ‘Ali a.s, ia berkata : Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku mesti ucapkan pada qunut witir : Allaahumma ihdinii fiiman hadaita.” (H.R. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
Keterangan :
Pada hadits ini tidak terdapat keterangan yang menunjukkan disyari’atkannya qunut shubuh, namun hadits ini berkaitan dengan qunut witir.
Disamping itu, an-Nawawi menyatakan dalam “al-Khulashah”, bahwa hadits itu bersanad dha’if, -yang diikuti- Ibnu Rif’ah, ia mengatakan bahwa hadits itu tidak kuat (Nailul Authar 3 : 49)
Hadits Kesembilan :
رواه البيهقي من طرق أحدها عن بريد بالموحدة والراء تصغير برد وهو ثقبة بن أبي مريم سمعت ابن الحنفية  وابن عباس يَقُوْلَانِ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ ووِتْرِ اللَّيْلِ بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ وَفِي إسْنَادُهُ مَجْهُول وروى من طريق أخرى وهي التي ساق المصنف لفظها عن ابن جريج بلفظ يعلمنا دعاء ندعو به في القنوت من صلاة الصبح وفيه عبد الرحمن بن هرمز ضعيف
Buraid bin Abi Maryam berkata, saya pernah mendengar dari Abu Hanafiah dan Ibnu ‘Abbas, keduanya itu  berkata, “Adalah Nabi saw itu selamanya berqunut pada shalat shubuh, dan pada shalat witir pada waktu malam dengan doa itu.”
Keterangan :
Pada sanadnya ada rawi yang majhul (tidak dikenal). (Subulus-salam I : 187)
Penjarahan terhadap Rawi :
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abdurrahman Bin Hirmaz.
Komentar para ulama :
Imam Ibnu Hajar telah melemahkannya.
Hadits Kesepuluh :
حدثنا أبو بكر قال حدثنا يحيى بن سعيد عن العَوَّامُ بْنُ حَمْزَة َقَالَ سَأَلْتُ اَبَا عُثْمَانَ  عَنِ الْقُنُوْتِ فِي الصُّبْحِ, قَالَ : بَعْدَ الرُّكُوْعِ ؟ فَقُلْتُ : عَمَّنْ : قَالَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ و عمر وَعُثْمَانَ 
Dari ‘Awwam bin Hamzah, ia berkata, saya bertanya kepada Abu Utsman perihal qunut shubuh, ia berkata, sesudah rukuk, kemudian ia berkata, dari mana keterangan itu, jawabnya, Dari Abu Bakar, Umar dan Utsman. (H.R al-Baihaqi, sanadnya hasan. Al-Sunan al-Kubra 2 : 202)
Keterangan :
قلت : كيف يكون إسنادا حسنا والعوام تقدم قريبا أن يحيى قال ليس بشيء, وقال أحمد له أحاديث مناكير, ورواية يحيى بن سعيد عنه إن دلت على ثقته عنده كما مر, فما ذكرناه يدل على ضعفه, والجرح مقدم على التعديل. – الجوهر النقى)
Aku (mushannif) berkata : “Bagaimana mungkin sandnya hasan, sedangkan terlebih dahulu telah dijelaskan bahwa Yahya menilainya tak apa-apa, dan menurut (pendapat) imam Ahmad ia mempunyai hadits-hadits yang munkar.” Dan riwayat Yahya bin Sa’id meski menunjukkan ketsiqatannya, maka apa yang telah kami jelaskan justru menunjukkan kedha’ifannya, sedangkan menurut qaidah : “Anggapan cacat mesti didahulukan daripada anggapan yang menunjukkan adil.” (al-Jauhar a-Nnaqi 2 : 202)
Hadits Kesebelas :
قال الشافعي رحمه الله تعالى حكى عدد صلاة النبي  صلى الله عليه وسلم  الجمعة فما علمت أحدا منهم حكى أنه قنت فيها إلا أن تكون دخلت في جملة قنوته في الصلوات كلهن حين   قنت على  قتلة أهل بئر معونة ولا قنوت في شيء من الصلوات إلا الصبح
Ali Melakukan Qunut untuk Ahlul Bir Maunah yang terbunuh, dan ia tidak melakukan qunut pada setiap shalat kecuali shalat Shubuh.
Keterangan :
Hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hadits keduabelas :
قال البيهقي رواة القنوت بعد الرفع أكثر وأحفظ وعليه درج الخلفاء الراشدون وروى الحاكم أبو أحمد في الكنى عَنْ الْحَسَنُ البَصْرِيُ قَالَ صَلَيْتُ خَلْفَ ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِيْنَ بَدَرِيًا   كُلُّهُمْ يَقْنَتُ  فِي الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وإسناده ضعيف
Telah berkata Hassan al-Basri, “Saya pernah shalat di belakang dua puluh shahabat yang pernah turut perang badar, semuanya itu berqunut pada shalat shubuh sesudah ruku’.” (تلخيص الحبير )
وروى الحاكم أبو أحمد في الكنى عن الحسن البصري قال صليت خلف ثمانية وعشرين بدريا  كلهم يقنت  في الصبح بعد الركوع قال الحافظ وإسناده ضعيف
(نيل الأوطار)
Keterangan :
Penjarahan terhadap rawi :
Pada sanad hadits di atas terdapat rawi yang bernama Abu Ahmad.
Komentar para ulama :
Imam Ibnu Hajr al-Asqalani berkomentar, ia itu dha’if
B. Dalil yang digunakan golongan yang melarang Qunut shubuh
Hadits Pertama :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قنت شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam pernah berqunut selama satu bulan, yaitu ketika para sahabat yang hafal qur'an terbunuh, dan saya tidak pernah melihat beliau sangat berduka cita dengan peristiwa tersebut.” (H.R al-Bukhari)
Hadits Kedua :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam berqunut selama satu bulan kemudian ia meninggalkannya (qunut).” (H.R Muslim)
Bantahan :
قال الإمام النووى : وأما الجواب عن حديث أنس وأبى هريرة فى قوله, ثم تركه, فالمراد ترك الدعاء على أولئك الكفار ولعنتهم فقط لا ترك جميع القنوت أو ترك القنوت فى الصبح. وهذا تأويل متعين لأن حديث أنس فى قوله, لم يزل يقنت حتى فارق الدنيا, صحيح صريح.
Menurut Imam Nawawi, bahwa jawaban (bantahan) terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah tentang pertanyaan, Tsumma tarakahu (kemudian Nabi meninggalkan qunut), yang dimaksud adalah meninggalkan do’a qunut untuk mereka yang kafir, serta meninggalkan kutukan terhadap mereka, bukan berarti meninggalkan semua qunut, atau meninggalkan qunut shubuh. Dan ta’wil ini pasti (benar) sekali, karena hadits Anas yang menyatakan : Nabi tidak henti-hentinya qunut sampai meninggal dunia”, adalah hadits shahih lagi sharih (tegas). (al-Majmu’ 3 : 505)
Jawaban (atas bantahan) :
وليس الأمر كذالك لأنه قد ضعفه غير واحد من الأئمة لأن فيه أبو جعفر الرازي, وهو ضعيف كما تقدم
Tidak demikian halnya, karena hadits tersebut telah dinyatakan dha’if bukan oleh seorang ahli hadits, sebab pada hadits tersebut ada rawi yang bernama Abu Ja’far ar-Razi, yang dia itu dha’if, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
وفى القاعدة : الجرح مقدم على التعديل
Menurut qaidah : “Tuduhan jarah (cacat) harus didahulukan (diutamakan) daripada anggapan ‘adil (jujur).”
ولو صح لم يكن فيه دليل على هذا القنوت المتعين ألبته
Menurut Ibnu Qayyim : “Andaikata hadits itu shahih (tetap) tidak dapat dijadikan dalil kebenaran qunut tertentu (shubuh). (Zaadul Ma’aad : 1 : 70)
Hadits Ketiga :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيُّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ هِلَالِ بْنِ خَبَّابٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو  عَلَيْهِمْ عَلَى حَيٍّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam pernah berqunut selama satu bulan terus menerus dalam shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh, diakhir setiap shalat sesudah membaca “Sami Allahu liman hamidah,” di rakaat yang akhir, beliau mendoakan kecelakaan atas suku bani Sulaim, yaitu Ri'lin, Dzakwan, dan ‘Ushayyah, serta diiringi amin oleh orang-orang dibelakangnya.” (H.R Abu Dawud dan Ahmad).
Dan ia menambahkan bahwa Nabi mengirimkan utusan kepada mereka untuk mengajak mereka masuk Islam, namun mereka membunuh utusan-utusan itu.
Dan Ikrimah berkata : Kejadian ini adalah permulaan adanya qunut. (Nailul Authar 2 : 390).
Menurut Syaukani, bahwa yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa qunut itu khusus (dilakukan) manakala terjadi nazilah (bencana/malapetaka), dan dalam hal itu selayaknya tidak dikhususkan dalam shalat-shalat tertentu saja. (al-Fathu ar-Rabbani 3 : 350)
Hadits Keempat :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ خَلَفٍ وَهُوَ ابْنُ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ
Dari Abu Malik al-Asyja'i, ayah saya pernah berkata, “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau tidak perqunut, dan aku pernah shalat di belakang Abu bakar dan ia tidak berqunut, dan aku pernah shalat di belakang Umar ia tidak pernah berqunut, dan aku pernah shalat di belakang Utsman dan iapun tidak berqunut, dan aku pernah shalat di belakang Ali dan iapun tidak qunut, kemudian dia (ayah saya berkata) hai anakku sesungguhnya (qunut) itu bid'ah.” (H.R an-Nasai)
Hadits Kelima :
عن أبي مالك الأشجعى قال : قلت لأبى يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلعم وأبى بكر وعمر وعثمان وعلي ههنا بالكوفة قريب من خمس سنين, أكانوا يقنتون ؟ قال : أي بني محدث. (رواه أحمد والترمذي وصححه وابن ماجه)
Dari Abi Malik al-Asyja’I, ia berkata, “Aku bertanya kepada bapakku, wahai bapakku. Sesungguhnya engaku shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman di kuffah kira-kira 5 tahun, apakah mereka suka melakuka qunut?, ia menjawab, “Wahai anaku! Itu adalah perkara bid’ah.” (H.R Ahmad dan at-Tirmidzi dan ia menshahihkannya serta menurut Ibnu Majah)
Hadits Keenam :
رواه البزار وابن أبي شيبة والطبراني والطحاوي كلهم من حديث بن مسعود أنه قال لم يقنت رسول الله  صلى الله عليه وسلم  في الصبح الا شهرا ثم تركه ثم لم يقنت قبله ولا بعده وقال روى الخطيب في كتاب القنوت عن أنس ان النبي  صلى الله عليه وسلم    كَانَ لاَ يَقْنُتُ  اِلَّا إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَيْهِمْ
Diriwayatkan oleh Al-Bazar, Ibnu Abi Syaibah, at-Thabrani, ath-Thahawi, semuanya dari hadits Ibnu Mas'ud, Ia berkata, “Rasululah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tidak berqunut kecuali satu bulan, kemudian beliau meninggalkannya, tidak berqunut sesudahnya atau sebelumnya, telah berkata dalam riwayat Al-Khatib, dalam kitab qunutnya, dari Anas, sesungguhnya Nabi saw tidak pernah qunut, kecuali mendoakan kebaikan atau kecelakaan atas suatu kaum.” (Syarah Sunnan Ibnu Majah)
Hadits Ketujuh :
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو الحسن العنزي ثنا عثمان بن سعيد ثنا موسى بن إسماعيل ثنا همام عن قتادة عن أبي مجلز قال ثم صَلَيْتُ مَعَ بْنِ عُمَرَ صَلاَةِ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتُ فَقُلْتُ لاِبْنِ عُمَرَ لا أَرَاكَ تَقْنُتُ  قَالَ لاَ أَحْفُظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصَحَابِنَا
Dari Abu mijlaz telah berkata, “Saya pernah shalat berserta Ibnu Umar pada shalat shubuh, maka ia tidak berqunut, lalu saya bertanya kepadanya, mengapa saya tidak lihat Anda berqunut? maka ia menjawab, saya tidak mendapatkan berita dari seorang shahabatpun.” (H.R al-Baihaqi)
Hadits Kedelapan :
وروى ابن خزيمة في صحيحه من طريق سعيد عن قتادة عن أنس أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم لم يقنت إلا إذا دعا لقوم أو دعا على قوم فاختلفت الأحاديث عن أنس واضطربت فلا يقوم لمثل هذا حجة انتهى إذا تقرر لك هذا علمت أن الحق ما ذهب إليه من قال إن القنوت مختص بالنوازل وإنه ينبغي ثم نزول النازلة أن لا تخص به صلاة دون صلاة وقد ورد ما يدل على هذا الاختصاص من حديث أنس ثم ابن خزيمة في صحيحه وقد تقدم ومن حديث أبي هريرة ثم ابن حبان بلفظ   كان لا يقنت  إلا أن يَدْعُوْ لِأَحَدٍ أَوْ يَدْعُوْ عَلَى أَحَدٍ.
Abu Hurairah berkata, “Bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berqunut melainkan apabila ia mendoakan (kebaikan) atas seseorang, atau mendoakan kecelakaan atas seseorang.” (H.R Ibnu Khuzaimah). (Nailul Authar 2: 396)
Hadits Kesembilan :
وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت في صلاة الفجر إلا إذا دعا لقوم أو دعا على قوم. رواه سعيد
Abu Hurairah berkata, “Bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tak pernah berqunut pada shalat shubuh melainkan apabila ia mendoakan (kebaikan) atas suatu kaum, atau mendoakan kecelakaan atas suatu kaum.” (H.R Sa'id bin Manshur). (al-Mughni Juz 1 hal 450)
Hadits Kesepuluh :
عن عروة الهمذاني عن الشعبي قال لَمَّا قَنَتَ عَلِيٌّ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ   أَنْكَرَ ذَلِكَ النَّاسِ  فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّمَا اِسْتَنْصَرْنَا عَلَى عَدُوِّنَا
Telah berkata Sya’bi, “Ketika Ali berqunut pada shalat shubuh, maka orang-orang menegurnya, maka ‘Ali berkata, sesungguhnya kami melakukan ini untuk minta pertolongan kepada Allah untuk mencelakakan musuh kami.” (H.R Sa'id bin Manshur). (al-Mughni Juz 1 : 450)
Hadits Kesebelas :
روى ابن حبان والخطيب وابن خزيمة عن أنس أن النبي صلعم كان لايقنت في صلاة الصبح إلا إذا دعا لقوم أو دعا على قوم. هذا لفظ ابن حبان
Ibnu Hibban, al-Khatib dan Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tidak qunut pada shalat shubuh, kecuali mendo’akan keselamatan untuk satu kaum atau mendo’aka kecelakaan untuk mereka. Ini adalah lafazh (riwayat) Ibnu HIbban.
ومن حديث أبي هريرة عند ابن حبان بلفظ, كان لا يقنت إلا أن يدعو على أحد
Hadits dari Abi Hurairah, menurut riwayat Ibnu HIbban dengan lafazh, “Adalah Nabi tidak qunut, kecuali jika mendo’akan keselamatan atau kecelakaan seseorang.” (Nailul Authar 2 : 387).
Hadits Keduabelas :
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَأُقَرِّبَنَّ صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَصَلَاةِ الْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ
Abu Hurairah r.a. berkata, “Sungguh akan aku tunjukkan kepadamu shalat Nabi saw, maka Abu Hurairah qunut pada rakaat yang akhir dari shalat zhuhur, isya dan shubuh, setelah mengucapkan sami'allahu liman hamidah, ia mendoakan keselamatan kaum mukmin dan ia melaknat kaum kafir.” (H.R  al-Bukhari)
Hadits Ketigabelas :
عن زائدة عن منصور حدثنى مجاهد وسعيد ين جبير أن ابن عباس كان لا يقنت فى صلاة الفجر. وهذا سند صحيح
Dari Zaidah, dari Manshur, telah mengabarkan kepadaku Mujahid dan Sa’id bin Zubair, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak melakukan qunut pada shalat fajar, dan hadits ini shahih.”
Hadits Keempatbelas :
عن سعيد بن جبير أن ابن عباس وابن عمر كانا لا يقنتان فى الفجر
Dari Sa’id bin Zubair, “Bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar keduanya tidak melakukan qunut pada shalat fajar (shubuh).”
Hadits Kelimabelas :
عن عمران بن الحارث قال : صليت مع ابن عباس فى داره صلاة الصبح فلم يقنت قبل الركوع ولا بعده
Dari Imran bin Harits, ia berkata : “Aku shalat bersama dengan Ibnu ‘Abbas di rumahnya, yaitu shalat shubuh, dan tidak melakukan qunut, baik sebelum ruku’ maupun setelahnya.”
Hadits Keenambelas :
قال سعيد بن جبير : لم يكن عمر يقنت وصليت مع ابن عمر وابن عباس الصبح فكانا لا يقنتان
Berkata Said bin Zubair :  “Adalah ‘Umar tidak melaksanakan qunut itu, aku melaksanakan shalat shubuh bersama Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, keduanya juga tidak melaksanakan qunut.”
فهذه رواية جماعة عن ابن عباس فهي أولى من رواية واحدة
Hadits ini diriwayatkan orang banyak dari Ibnu ‘Abbas, maka (kedudukan) hadits ini lebih utama daripada riwayat seseorang. (al-Jauhar an-Naqi 2 : 205)
Hadits-hadits Ibnu ‘Abbas di atas sebagai bantahan dari hadits Ibnu ‘Abbas juga yang membolehkan qunut shubuh, sebagaimana hadits yang tercantum sebelumnya.
Qunut Shubuh terjadi dalam sejarahnya adalah karena banyak kaum Muslimin (terutama para Hufazh) yang terbunuh oleh kaum Musyrikin di Bi’r Ma’unah, maka Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam mendoakan keburukkan kepada kaum Musyrikin itu terus menerus dalam shalat selama satu bulan.
Dari dua pendapat di atas, pendapat kedualah yang dipilih karena berdasarkan pemahaman keilmuan, pendapat kedua lebih Rajih (kuat).
Maka jika kita masukkan kaidah ushul,
 الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا
“Hukum itu berputar bersama illatnya (sebab), dalam mewujudkan dan meniadakan Hukum.”
Maka pendapat firqah pertama tertolak disebabkan illat hukumnya tidak dipenuhi, yaitu Bencana besar yang dialami oleh kaum muslimin. Dan kalaupun ada bencana atau mendoakan kebaikan, tidak dilakukan terus menerus.
Kesimpulan :
1. Qunut shubuh dengan do’a “Allaahumma ihdinii fii man hadaita….(dan seterusnya) itu tidak disyari’atkan, karena hadits-haditsnya dha’if, tidak dapat dijadikan hujjah.
2.  Mengingat ada qaidah ; “Manakala para ulama ragu-ragu menetapkan antara sunnah dengan bid’ah maka lebih baik ditinggalkan.”
3.  Berdasarkan qaidah : “Meninggalkan yang ragu-ragu kesunnahannya lebih baik daripada mengamalkan yang dikhawatirkan terjatuh kepada bid’ah.”
Maksudnya : Apabila para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan sesuatu antara sunnat dengan bid’ah, maka lebih baik ditinggalkan. Seperti halnya dalam qunut shubuh, sebagian ulama menetapkan sunnat, sementara ulama yang lain menetapkan bid’ah, maka dalam hal ini lebih baik qunut tersebut ditinggalkan. Andaikan qunut itu sunnat, ia tidak berdosa hanya tidak mendapat pahala saja, akan tetapi andaikata qunut itu bid’ah, maka tentu akan mendapatkan sanksi apabila melakukannya.(lihat di pembahasan Bid'ah)
4.  Juga (qunut) itu tidak diamalkan oleh orang-orang Makkah, serta Madinah sampai di zaman kita sekarang ini.
5. Disyari’atkan qunut nazilah apabila terjadi malapetaka dan bencana terhadap umat Islam, serta hendaklah ditinggalkan apabila bencana itu telah hilang, dan (pelaksanaannya) tidak dikhususkan dalam shalat shubuh saja.
6.  Sedangkan untuk do’a qunut shubuh yang dilakukan terus menerus tanpa adanya musibah yang dapat menggoncang kaum muslimin, dikarenakan hadits-haditsnya tidak ada yang shahih malah bertentangan dengan hadits-hadits shahih lainnya, maka perbuatan itu adalah perbuatan mengada-ada yang tidak dicontohkan Rasulullah saw.
7. Juga disyari’atkan Thuulul qiyam (Lama berdiri) dengan bacaan surat-surat al-Quran yang panjang dalam shalat shubuh, itupun salah satu yang dimaksud dengan qunut.
8.  Untuk do’a qunut nazilah, tidak ada do’a khusus, tetapi Nabi berdoa sesuai tuntutan keadaan serta suasana (kondisi).
9.  Menurut Syeikh al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, yang dimaksud dengan lafazh qunut itu banyak artinya, menurutnya :
معنى القنوت : قال الشيخ الحافظ زين الدين العراق : ولفظ القنوت اعدد معانيه تجد مزيدا على عشر معانى مرضية, دعاء, خشوع, والعبادة طاعة, إقامتها إقرارها بالعبودية, سكوت صلاة والقيام وطوله, كذالك دوام الطاعة الرابح القينه
Lafazh qunut itu hitunglah olehmu! Niscaya engkau akan mendapatkan lebih dari 10 arti yang dapat diterima, antara lain : do’a, khusyu, ibadah dan melaksanakan ibadah, mengakui kewajiban ibadah, diam dalam shalat dan lama berdiri, demikianpun melaksanakan tha’at, yang beruntung adalah yang mendapatkannya. (Fathul Baari 2 : 409).